Cara Berhenti Overthinking Tanpa Harus Jadi Keras Kepala
Overthinking Bikin Capek Hati, Gimana Kalau Kita Ubah Cara Pandangnya?
“Pikiran kita bisa jadi tempat paling ramai—padahal kita lagi sendirian.”
Kadang lucu sih…
Kita cuma duduk diam di kamar, tapi kepala rasanya kayak pasar malam. Semua suara bercampur: kemungkinan ini, skenario itu, dan tentu saja—penyesalan lama yang tiba-tiba ikut nimbrung.
Pernah nggak, kamu lagi pengen nulis satu chat doang, tapi mikirnya sampai 20 menit?
Takut salah paham.
Takut dia nanggapinya gimana.
Takut terlihat terlalu ini… terlalu itu.
Ujung-ujungnya, chat-nya nggak pernah terkirim. Tapi rasa sesaknya tetap nyangkut.
Overthinking memang nggak selalu terdengar “buruk”. Soalnya ya, mikir itu kan katanya tanda orang bijak, ya? Tapi kenyataannya…
Terlalu banyak mikir malah bikin langkah kita mandek.
Dan yang bikin miris, kadang kita tahu ini berlebihan. Tapi tetep aja nggak bisa berhenti.
Kayak mobil yang ngebut tapi remnya blong. Kita sadar, tapi nggak tau cara berhentinya gimana.
Nah, kalau kamu juga lagi ngerasa kayak gitu…
Tenang. Kita pelan-pelan belajar bareng, yuk.
Bukan buat jadi “lebih kuat” atau “lebih hebat”, tapi biar hati ini nggak terus kelelahan karena pikiran sendiri.

Kadang Kita Nggak Sadar, Tapi Ini Awalnya
Lucunya, overthinking itu jarang datang dengan suara keras.
Dia nggak pakai alarm. Nggak pakai pengumuman.
Tiba-tiba aja kamu sadar udah setengah jam cuma duduk bengong, mikirin hal yang bahkan belum tentu kejadian.
Awalnya cuma dari satu hal kecil—
satu kalimat orang lain, satu notifikasi, satu kenangan.
Lalu pikiran kita mulai menjahit sendiri narasi di kepalanya:
“Apa dia marah ya tadi?”
“Kalau nanti gagal gimana?”
“Kenapa sih aku kayaknya selalu salah?”
Yang kadang bikin makin runyam: kita nggak sadar kalau kita sedang overthinking.
Kita cuma merasa capek. Gelisah. Emosi nggak jelas.
Baru setelah beberapa saat kita mikir,
“Oh, iya… aku terlalu banyak mikir.”
Di sinilah titik awalnya.
Kesadaran.
Karena selama kita belum sadar, kita nggak bisa keluar.
Kayak nyasar di hutan tapi nggak tahu kalau kita nyasar.
Jadi, langkah pertama buat berhenti overthinking itu bukan “melawan pikiran”...
Tapi menyadari:
“Oh, ini dia. Pikiran yang mulai muter-muter sendiri lagi.”
Dan ketika kamu bisa sampai di titik itu,
itu bukan kelemahan—itu kemajuan.
Karena sadar adalah bentuk kendali pertama.
Kenapa yang Dipikirin Selalu Sisi Buruknya?
Coba perhatiin deh—
Setiap kali kita mulai overthinking, yang nongol duluan hampir selalu yang negatif.
Yang salahnya, yang gagalnya, yang memalukannya.
Jarang banget pikiran kita langsung mikir,
“Eh kalau ternyata semua berjalan lancar gimana?”
Itu karena otak kita punya kecenderungan alami buat waspada.
Dalam bahasa ilmiahnya: negativity bias.
Tapi dalam bahasa sehari-hari: kita sering keburu takut sebelum sempat percaya.
Misalnya gini:
Kamu mau kirim ide ke grup kerja.
Tapi di kepalamu mulai muncul suara-suara halus:
“Nanti dibilang sok pinter.”
“Kalau nggak ada yang nanggepin gimana?”
“Ntar salah ketik lagi, malu-maluin.”
Padahal… bisa jadi idemu justru yang ditunggu-tunggu.
Tapi karena kita sibuk mikir kemungkinan buruk,
langkah kita keburu berhenti.
Nah, di sinilah kita bisa mulai melawan arus.
Bukan dengan maksa mikir positif,
tapi dengan ngajak otak buat nimbang ulang.
Lain kali pas kamu sadar lagi overthinking, coba tanya pelan-pelan:
“Oke, ini kemungkinan terburuk. Sekarang… apa kemungkinan terbaiknya?”
Cukup dengan ngebuka ruang itu— kamu udah ngasih arah baru buat pikiran kamu.
Bukan Harus Diam, Tapi Arahkan Ulang Energinya
Kadang kita mikir, cara berhenti overthinking itu ya dengan berhenti mikir sama sekali.
Tapi sayangnya, itu bukan solusi… itu penghindaran.
Karena otak kita tetap jalan. Pikiran tetap datang.
Kalau kita cuma suruh diri sendiri “jangan mikir”, yang terjadi malah sebaliknya:
kita mikir kenapa kita nggak bisa berhenti mikir.
Nah, gimana kalau kita coba pendekatan lain?
Bukan membungkam pikiran, tapi mengalihkan energinya ke arah yang lebih hidup.
Overthinking itu sebenarnya energi juga—cuma arahnya salah.
Bayangin kayak air sungai yang meluap ke jalan.
Kalau cuma disuruh surut, dia bakal balik lagi.
Tapi kalau dialirin ke sawah, dia jadi berguna.
Sama juga dengan pikiran kita.
Coba temukan sesuatu yang bisa jadi “penampung aliran” buat pikiranmu:
jalan kaki sore sambil dengar lagu, nulis jurnal kecil, main musik, beresin kamar, gambar iseng, atau bahkan nyuci piring sambil mindfull.
Bukan untuk kabur dari pikiran, tapi untuk ngasih ruang buat tubuh dan hati bergerak bareng.
Karena seringkali, kita butuh bergerak dulu… baru bisa berpikir jernih.
Coba Lihat dari Sudut Lain
Overthinking sering terasa seperti drama besar di kepala.
Padahal, yang kita alami mungkin cuma satu adegan kecil—tapi dibesarkan terus sama imajinasi kita.
Misalnya kamu dikasih tugas dadakan.
Pikiran langsung lari:
“Aduh, ini pasti karena aku dianggap nggak becus.”
“Ntar kalau gagal gimana? Reputasi gue hancur.”
“Ini bisa jadi awal dari akhir.”
Tapi… coba tarik napas.
Terus tanya pelan ke diri sendiri:
“Lima tahun dari sekarang… hal ini masih sepenting itu nggak, ya?”
“Sebulan dari sekarang… aku masih kepikiran soal ini?”
Kalimat-kalimat kayak gitu tuh sederhana, tapi bisa bikin kita lompat keluar dari lingkaran pikiran.
Overthinking tumbuh subur karena kita memelototi masalah dari jarak dekat banget.
Padahal kalau kita mundur beberapa langkah,
kita bisa lihat bahwa ternyata… ini nggak sebesar itu.
Kayak kita lagi pegang kaca pembesar, terus nunjukin ke semut.
Kelihatan gede dan menakutkan.
Tapi kalau dilepas, ya dia cuma semut.
Jadi, bukan masalahnya yang harus hilang,
tapi cara pandang kita yang perlu direnggangin dulu.
Perfeksionisme Itu Jebakan yang Rapi
Di permukaan, perfeksionisme sering kelihatan keren.
Rapi. Terencana. Niat.
Tapi di balik itu… diam-diam dia sering jadi dalang utama overthinking.
Soalnya gini:
Saat kamu nunggu semua serba pas dulu,
kamu justru nyangkut di ruang tunggu yang nggak punya pintu keluar.
Mau mulai usaha kecil?
“Ntar dulu, konsepnya belum solid.”
Mau posting karya?
“Nunggu hasil editan yang lebih bagus dulu.”
Mau ngobrol jujur sama pasangan?
“Kalau mood-nya lagi bagus, baru deh.”
Padahal hidup jarang banget kasih momen yang bener-bener sempurna.
Perfeksionisme itu kayak GPS yang selalu nyari jalan tercepat…
tapi nggak sadar kita udah duduk di parkiran dari tadi.
Kita bukan butuh semua hal sempurna.
Kita cuma butuh cukup jelas untuk mulai jalan.
Jadi, lain kali saat kamu mikir,
“Ini belum cukup bagus…”
…coba ubah jadi:
“Ini cukup untuk jadi langkah pertama.”
Karena kebaikan itu nggak selalu datang dari kesempurnaan,
tapi dari keberanian buat bergerak—meski sedikit.
Takut Itu Wajar, Tapi Jangan Jadi Komando
Rasa takut itu manusiawi.
Dia datang bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan.
Tapi masalahnya, sering kali kita malah ngasih setir kehidupan ke rasa takut.
Biarpun arahnya nabrak, tetap aja kita ikutin.
Karena lebih aman katanya.
Misalnya kamu pernah gagal waktu wawancara kerja.
Terus ada kesempatan baru, tapi pikirannya langsung jalan:
“Dulu aja ditolak, apalagi sekarang.”
“Pasti bakal malu lagi.”
“Nggak usah deh, ribet nanti sakit hati.”
Padahal situasinya udah beda.
Waktunya beda. Kamu juga udah tumbuh.
Tapi otak kita suka nyalin ulang trauma lama kayak kaset rusak—berulang-ulang.
Nah, di titik ini penting banget buat kamu sadar:
Takut bukan penentu, dia cuma sinyal.
Dan sinyal itu bisa kita dengar… tapi nggak harus kita turuti.
Coba tanya diri sendiri:
“Apakah aku takut karena memang belum siap?
Atau cuma karena aku trauma dari yang lalu?”
Kamu berhak mulai lagi.
Nggak harus tanpa takut, tapi dengan kesadaran bahwa kamu nggak akan dikendalikan olehnya.
Kadang cara berhenti overthinking bukan dengan ngebuang semua ketakutan,
tapi dengan bilang,
“Ya, aku takut. Tapi aku jalan terus.”
Beri Batasan Biar Pikiran Nggak Ngamuk
Pikiran yang terus jalan tanpa arah itu kayak kereta tanpa rel— berisik, cepat, dan bikin panik.
Makanya, salah satu cara ampuh buat berhenti overthinking adalah: kasih batasan.
Batasan itu bukan larangan.
Tapi semacam pagar lembut buat jaga kita tetap waras.
Misalnya:
Kamu bisa kasih waktu 5 menit aja buat mikir sepuasnya.
Nggak apa-apa. Tulis aja semua kekhawatiranmu di kertas.
Mau yang rasional atau nggak—bebas.
Setelah itu?
Stop. Tarik napas. Sobek kertasnya. Lanjut aktivitas.
Kenapa ini penting?
Karena overthinking sering muncul saat kita nggak sadar udah terlalu lama mikir.
Dengan memberi waktu dan bentuk, kamu ngasih sinyal ke otak:
“Udah cukup. Sekarang saatnya jalan.”
Kalau kamu tipe visual, bikin ritual kecil:
– Nulis kekhawatiranmu tiap malam
– Kasih nama buat pikiran yang suka ganggu
– Atau punya jam “curhat ke diri sendiri” sebelum tidur
Dengan cara itu, kamu bukan lagi korban pikiranmu.
Kamu jadi pengarahnya.
Pikiran kita itu liar. Tapi kalau diajarin dengan konsisten dan lembut, dia bisa jadi sahabat yang nurut.
Masa Depan Emang Penting, Tapi Sekarang Lebih Real
Overthinking sering menyamar jadi “perencanaan”.
Kita merasa sedang mempersiapkan masa depan,
padahal sebenarnya cuma muter-muter di kekhawatiran.
“Kalau nanti ditolak gimana?”
“Nanti kalau gagal terus hidupku gimana?”
“Apa aku akan nyesel lima tahun dari sekarang?”
Semua kalimat itu kelihatannya visioner.
Tapi coba tanya balik:
Apakah itu bikin kamu lebih siap… atau justru lebih lumpuh?
Karena beda tipis antara antisipasi dan ketakutan.
Yang satu membangun.
Yang satu menahan.
Faktanya: nggak ada satu orang pun yang benar-benar bisa memprediksi masa depan.
Kita cuma bisa menyiapkan diri… lewat apa yang kita lakukan hari ini.
Kalau kamu habiskan waktu untuk khawatir tentang hal yang belum tentu kejadian,
kamu sedang mencuri waktu dari satu-satunya hal yang nyata: sekarang.
Jadi, kapan pun kamu ngerasa otakmu terlalu sibuk “nanti gimana”, coba tarik diri balik ke momen ini.
Tanya:
“Apa satu hal kecil yang bisa aku lakukan sekarang?”
Karena hari esok mungkin penting,
tapi langkah paling berdampak selalu dimulai dari hari ini.
Yang Terbaik Itu Nggak Harus Sempurna
Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri.
Udah berusaha semampu mungkin,
tapi masih aja ngerasa kurang, gagal, belum pantas.
Dan dari situlah overthinking mulai naik panggung lagi.
“Aku udah cukup belum, ya?”
“Kenapa hasilnya nggak maksimal?”
“Orang lain bisa lebih baik, kok aku nggak?”
Padahal kamu udah ngasih yang terbaik yang kamu bisa…
…dengan sumber daya yang kamu punya, dengan kondisi mental dan fisik yang mungkin nggak ideal,
…dan itu layak dihargai.
Ingat, hasil akhir kadang memang dipengaruhi banyak hal yang di luar kendali kita.
Tapi usaha jujurmu? Itu sepenuhnya milikmu.
Nggak semua hal harus sempurna untuk layak dihargai.
Nggak semua langkah harus besar untuk disebut kemajuan.
Yang penting:
Kamu hadir. Kamu niat. Kamu bertumbuh.
Kalau kamu terus mengejar standar yang nggak ada ujungnya,
kapan kamu akan merasa cukup?
Jadi, lain kali pas kamu mulai overthinking karena merasa belum maksimal,
coba katakan ke diri sendiri:
“Aku udah berusaha dengan tulus. Dan itu cukup untuk hari ini.”
Latihan Bersyukur Itu Bukan Klise
Di tengah kepala yang berisik dan hati yang gelisah,
kadang satu-satunya yang bisa menenangkan adalah…
melihat apa yang masih ada, bukan apa yang belum sempurna.
Syukur itu bukan pelarian.
Bukan juga pengalihan.
Tapi semacam jangkar kecil—buat nahan kita supaya nggak hanyut terlalu jauh dalam overthinking.
Karena lucunya, kita sering terlalu sibuk mikir:
“Apa yang salah?”
“Kenapa belum cukup?”
“Apa yang harus diperbaiki?”
Sampai lupa bahwa ada banyak hal yang sebenarnya sedang berjalan baik.
Coba deh:
Tiap malam, sebelum tidur, tulis tiga hal kecil yang kamu syukuri hari itu.
Nggak perlu besar.
Bisa sesimpel:
– “Tadi sempat senyum sama orang asing.”
– “Makan siang bareng teman.”
– “Langit sore tadi cantik banget.”
Dengan melatih diri melihat yang baik,
kita ngasih pesan ke pikiran:
“Nggak semua hal harus jadi beban. Ada yang bisa dinikmati juga, lho.”
Syukur itu bukan tentang pura-pura bahagia.
Tapi tentang memilih untuk melihat cahaya kecil di tengah kabut.
Dan sering kali, itulah yang cukup untuk bantu kita keluar dari lingkaran overthinking yang nggak ada ujungnya.
Kadang Kita Cuma Butuh Berhenti Sejenak
Overthinking itu bukan musuh.
Dia cuma alarm kecil yang bilang, “Ada sesuatu yang belum kamu hadapi.”
Tapi… kalau kita terus-terusan dengerin dia tanpa jeda, kita bisa kehabisan bensin bahkan sebelum mulai jalan.
Kita nggak harus jadi super tenang setiap saat.
Nggak harus bisa ngatur pikiran 24 jam penuh.
Yang kita perlu adalah kemauan buat sadar, dan kerelaan buat istirahat.
Kadang cara terbaik buat berhenti overthinking
bukan dengan menyelesaikan semuanya, tapi dengan menunda sedikit… untuk bernapas lebih panjang.
Karena saat kamu berhenti sejenak, kamu bisa dengar lagi suara hati yang sempat hilang.
Dan di situlah, langkah kecil bisa mulai terasa ringan lagi.
Jadi kalau hari ini pikiranmu lagi ramai,
nggak apa-apa.
Pelan-pelan aja. Duduk sebentar.
Lalu tanyakan ke diri sendiri:
“Apa satu hal kecil yang bisa aku lakukan sekarang?”
Kalau kamu lagi ngerasain ini juga, semoga tulisan ini bisa jadi teman jalan sebentar.
Bukan untuk kasih semua jawaban, tapi cukup buat nemenin kamu melewati satu belokan kecil hari ini.
Posting Komentar