Kalau Hidup Seru, Masih Perlu Healing?

Daftar Isi

Kenapa Semua Orang Kayaknya Lagi Butuh Healing?

Akhir-akhir ini, kayaknya semua orang pengen healing.
Ke gunung, ke pantai, staycation, pijat aroma terapi, nonton senja sambil nyeruput kopi susu.
Lucunya, kadang bukan karena ada luka besar. Tapi lebih karena… capek aja. Capek kerja, capek mikir, capek ngikutin ritme yang rasanya bukan milik sendiri.

Dan ini bukan soal siapa yang paling stres. Bahkan teman-teman yang kerja di tempat impian, yang gajinya bagus, atau yang dibilang “sukses” pun… tetap sering bilang:

“Kayaknya gue butuh healing deh.”

Kenapa ya?

Apa jangan-jangan, hidup kita — rutinitas kita — sebenarnya nggak seru?
Bukan karena kita nggak bersyukur, tapi karena cara kita ngejalanin hari-hari memang kayak robot.

Bangun – kerja – makan – scroll – tidur.
Ulang lagi. Dan lagi.
Kadang sampai lupa, kapan terakhir kali kita ngerasa hidup beneran.

Makanya, “healing” jadi kayak jeda yang ditunggu-tunggu.
Padahal mestinya, bukan jedanya yang kita kejar. Tapi cara biar kita bisa bernapas juga di tengah jalan, bukan cuma di ujung minggu.

Tapi ya gitu…
Kalau hidup kamu seru, meaningful, dan nyambung sama diri sendiri,
masih perlu nggak sih… healing-healing-an?

Mungkin kamu ga butuh healling - Actionesia
Apa kamu butuh Healing? 

Mungkin Kita Salah Kaprah Soal Healing

Sekarang kata healing udah kayak jargon sehari-hari.
Capek sedikit: healing.
Patah hati: healing.
Deadline numpuk: healing.
Kerja 5 hari normal: healing.

Kayaknya semua bisa diselesaikan dengan healing.

Tapi kalau kita jujur...
yang banyak kita sebut “healing” hari ini, sebenarnya lebih mirip pelarian daripada pemulihan.
Bedanya tipis, tapi dampaknya jauh.

Pelarian itu lari dari rasa.
Pemulihan itu berani duduk bareng rasa.

Dan sayangnya, banyak dari kita lebih nyaman lari.
Karena duduk bareng rasa itu nggak segampang duduk di bean bag sambil lihat laut.
Butuh keberanian buat ngakuin: “Aku nggak baik-baik aja.”
Butuh tenaga buat ngerapihin kekacauan dalam diri.

Jadi nggak heran kalau healing versi kita lebih sering artinya “libur dari kenyataan”.
Tapi giliran liburnya selesai, yang bikin lelah itu… nunggu lagi waktu healing selanjutnya.

Ironis, ya?
Hidup kita didesain supaya bisa dijalani. Tapi yang terjadi, kita malah sibuk kabur dari hidup itu sendiri.

Mungkin ini saatnya kita bertanya:
"Sebenernya yang bikin aku butuh healing itu... apa sih?"

Kalau jawabannya karena kerjaan bikin sesak, rutinitas bikin kosong, atau hidup berasa kayak autopilot...
Maka mungkin yang perlu dibenerin bukan destinasinya. Tapi caranya kita jalanin.

Rutinitas yang Nggak Seru Bikin Kita Haus Pelarian

Kita tuh sebenarnya makhluk yang bisa tahan capek.
Asal capeknya ada makna.

Tapi yang susah ditahan itu... rutinitas kosong yang nggak bikin kita tumbuh.
Yang dijalanin cuma karena “ya emang harus gitu aja.”
Bangun pagi, buru-buru, kerja seharian, pulang dalam keadaan setengah jiwa.

Lama-lama, hidup berasa kayak... tugas sekolah yang nggak pernah selesai.
Bukan karena berat, tapi karena membosankan. Nggak ada deg-degan, nggak ada tantangan yang nyambung sama hati.

Dan tanpa sadar, kita jadi haus banget sama yang “beda”.
Kita cari pelarian. Bukan cuma karena pengen senang, tapi karena pengen merasakan sesuatu.

Makanya, healing terasa menggoda.
Karena di situ, kita bisa berhenti pura-pura sibuk.
Kita bisa jadi diri sendiri, walau cuma dua malam.
Kita bisa tarik napas tanpa ditanya: “Progress-mu udah sampai mana?”

Tapi ya... kalau kita perlu kabur terus, berarti ada yang nggak beres di tempat asal, kan?

Coba renungkan:

Apakah kamu kerja untuk hidup?
Atau kamu hidup hanya untuk kerja?

Kalau rutinitasmu nggak pernah kasih kamu ruang untuk merasa senang, bangga, atau berkembang...
maka bukan kamu yang lemah—tapi mungkin sistem hidupmu yang perlu dirombak.

Karena manusia itu nggak diciptakan buat cuma bertahan.
Kita juga butuh rasa hidup. Rasa terhubung. Rasa punya tujuan.

Gimana Kalau Hidup Sehari-hari Justru Dibuat Lebih Seru?

Kalau dipikir-pikir... kenapa ya, kita cuma izinkan diri kita bahagia saat libur?
Kenapa momen tenang dan rasa hidup itu harus nunggu Sabtu?

Padahal… hidup terjadi setiap hari.
Senin juga bagian dari hidup.
Rabu juga. Bahkan hari Senin jam 9 pagi itu sama berharganya dengan Minggu sore.

Tapi kita sering anggap hari-hari biasa sebagai masa bertahan.
Dan cuma weekend yang kita jadikan ruang menikmati.

Gimana kalau kita ubah cara pandangnya?

Bukan nunggu healing, tapi nyelipin hal-hal yang bikin hidup lebih hidup… di tengah hari-hari biasa.

Misalnya:

  • Bikin ritual pagi yang kamu suka—ngopi tanpa gangguan, baca buku 5 halaman, journaling.
  • Atur ruang kerja biar lebih nyaman dan nggak bikin sesak.
  • Sisipkan “waktu mini bahagia” tiap sore: jalan kaki, ngobrol, dengerin lagu yang bikin semangat.
  • Ciptain momen meaningful di kerjaan—kayak bantu teman, selesaikan hal penting, kasih ide yang kamu banggakan.

Karena sebenarnya, seru itu bisa dibentuk.
Bukan nunggu datang dari luar.

Mungkin hidupmu bukan kurang liburan. Tapi kurang rasa.
Rasa berkembang.
Rasa bebas.
Rasa nyambung sama apa yang kamu jalani.

Dan saat kita mulai menghadirkan rasa itu—meski dari hal kecil—kita nggak lagi nunggu weekend buat bahagia.
Kita mulai bisa bilang:

“Aku bisa healing juga... tanpa harus pergi jauh.”

Dulu Teman-Teman Saya Juga Sering Kabur Tiap Jumat Malam

Saya punya beberapa teman yang bisa dibilang alumni Universitas Healing.
Tiap Jumat malam, mereka udah kayak atlet yang siap sprint—bukan ke gym, tapi ke tempat yang bisa menjauhkan mereka dari kenyataan hidup.

Salah satunya Dina.
Dia kerja di agency yang keren kalau dilihat dari Instagram—kantor artsy, klien besar, vibes “creative culture”.
Tapi di dalamnya, ya ampun… deadline kayak hujan deras, nggak berhenti-berhenti.
Dina sering bilang:

“Gue kerja dari Senin sampai Kamis. Hari Jumat itu buat kabur.”

Setiap minggu, dia booking hotel berbeda. Bukan yang mahal, yang penting bisa rebahan sambil nyalain diffuser dan Netflix.
Checklist healing-nya lengkap: masker wajah, buku yang dibeli tapi nggak pernah dibuka, dan playlist lo-fi buat nyoba tenang.
Tapi ya gitu, Senin pagi datang, dan dia balik ke siklus yang sama.

“Healing-nya berasa kayak tambal ban bocor yang dipake ngebut lagi,” katanya waktu itu.

Sampai suatu hari, saya lihat dia berubah.
Nggak ada story healing. Nggak ada check-in hotel.
Saya tanya, “Lo kemana weekend ini?”

Dia jawab, “Gue di rumah aja. Tapi gue akhirnya mulai nulis lagi. Bikin ilustrasi. Gue sadar, bukan libur yang gue butuhin… tapi sesuatu yang bikin gue nyambung sama diri sendiri.”

Dan kalimat berikutnya cukup terngiang dipikiran saya:

“Healing terbaik ternyata bukan yang bikin lupa hidup. Tapi yang bikin pengen balik ke hidup.”

Cerita lain datang dari Arga, si anak motoran.
Setiap Jumat sore, dia udah siap pakai jaket kulit, naik motor ke tempat yang bahkan Google Maps-nya ragu.
“Kalau belum ngelewatin dua gunung dan nyasar, belum sah healing-nya,” katanya.

Tapi ujungnya? Senin pagi datang, dan dia masuk kantor dengan tubuh ngilu, kepala berat, dan pikiran tumpul.

“Gue healing kok malah tambah capek, ya?”

Ternyata, selama perjalanan dia kehujanan, kelaperan, dan tidur cuma 3 jam.
Hasilnya? Presentasi berantakan, kerjaan molor, dan bosnya komentar,

“Kamu healing atau ikut Dakar Rally?”

Itu jadi titik balik.
Arga mulai berhenti lari jauh.
Dia tetap naik motor, tapi bukan buat kabur.
Dia mulai nyari rasa bebas bukan di jalan, tapi di cara dia menjalani hari.
Mulai ngatur energi, nolak kerjaan nggak masuk akal, dan jujur sama diri sendiri.

“Capek itu wajar,” katanya, “tapi kalau healing bikin makin capek, itu bukan healing—itu sabotase.”

Mungkin yang Kita Butuh Bukan Liburan, Tapi Tujuan

Healing itu bukan hal yang salah.
Kadang kita memang perlu istirahat. Perlu berhenti sebentar buat ngerasa bahwa diri ini masih punya kendali.

Tapi kalau setiap minggu kita butuh kabur,
kalau tiap kerja bikin nunggu hari libur,
kalau bahagia cuma bisa ditemukan di tempat jauh,
mungkin ada yang perlu ditata ulang.

Bukan rutenya. Tapi arahnya.
Bukan tempat healing-nya. Tapi hidup yang dijalani sehari-hari.

Karena ternyata, capek paling berat itu bukan karena kurang tidur.
Tapi karena terlalu sering berpura-pura hidup di jalur yang kita nggak ngerti kenapa harus dijalani.

Mungkin kita nggak perlu lagi staycation kalau keseharian kita sendiri udah bikin hati tenang.
Mungkin kita nggak harus selalu kabur kalau pekerjaan kita punya ruang buat tumbuh.
Dan mungkin… kita nggak perlu banyak healing,
kalau hidup kita sendiri udah jadi rumah yang nyaman buat pulang.

Jadi sebelum kamu booking villa atau nyiapin itinerary buat "recharge",
coba tanya dulu ke dalam:

“Yang capek itu badanku… atau hatiku yang kehilangan arah?”

Kalau kamu lagi ngerasain ini juga, semoga tulisan ini bisa jadi teman jalan sebentar.
Bukan buat nyuruh kamu berhenti healing,
tapi buat bantu kamu pulang. Ke hidupmu sendiri.

Actionesia
Actionesia Actionesia merupakan media yang didedikasikan untuk membantu kamu maksimalkan produktivitas, mengembangkan bisnis, dan membangun mindset yang kuat.

Posting Komentar